Halaqah Putih Kelabu
Alarm yang tampak sudah bosan menjerit itu akhirnya dibungkam pemilik. Wanita itu terduduk, tangannya sigap menutup mulut yang menguap. Gadis itu merapalkan doa bangun tidur seperti biasanya.
“Terima kasih, alarmku yang bawel banget … tapi jam berapa ya, ini?” Ia menengok ke arah jam beker di sebelahnya. Matanya terbuka lebar tatkala melihat jarum jam yang sudah mengarah pada angka 6 lewat 50 menit! Itu artinya ia terlambat.
“Allahu akbar, Dee! Aduh, telat subuh nih, gue!” gerutunya frustrasi. Tanpa menunggu waktu lama lagi, ia bergegas berwudu dan langsung menggelar sajadah. Gadis itu sangat merasa bersalah dan merutuki kelalaiannya.
Deena, akrab disapa Dee. Gadis itu masuk kelas sesi dua. Ya, artinya ia masuk jam 9.30 AM. Walau begitu, Dee jadi kapok tidur terlalu larut, tetapi mau bagaimana lagi? Deadline tugasnya adalah hari ini, dan ia baru sempat mengerjakannya.
Deena berlari di sepanjang koridor kelas, tangannya memeluk banyak kertas dan melihat ke lantai, entah apa yang ia pikirkan. Padahal kelasnya sudah di depan mata.
Bugh! Kertas-kertas yang ia pegang berhamburan ketika ia tak sengaja menabrak seseorang.
“Santai saja jalannya atuh, Neng!” Suara itu keluar dari mulut lelaki yang tadi Deena tabrak tak sengaja, Narendra. Lelaki itu kini membantunya memunguti kertas-kertas milik Deena.
“Ayo cepat ke kelas, sebentar lagi Bu Fara masuk, sudah bel.” Narendra kembali bersuara. Deena hanya mengangguk dan bergegas masuk setelah drama kertasnya selesai.
Narendra memang teman sekelasnya, cowok biasa dengan perawakan tinggi, mata yang membuat silau karena binar tajamnya. Rambut yang terkadang berantakan setelah bermain bola, dan seragam yang tidak dimasukkan. Jangan lupakan kancing atasnya terbuka satu, memperlihatkan dada bidangnya yang putih bersih.
“Ck, ogah banget gue … sama modelan kayak dia! Ramah ke semua cewek, apalagi kalo ngomong sambil natap, dih! Liat tuh, kalo ngomong suka bawa-bawa binatang haram. Aku sungguh gak like,” celoteh Deena tatkala Elsy mencomblangkan Narendra padanya.
“Ih, jangan gitu, Naren ‘kan sepupu aku! Kamu kapan sih, sekali aja nunjukin suka sama cowok? Kamu normal, kan, Dee? Aku cuma takut aja kam–“
“Diam, ya! Aku normal, kok!” pungkas Deena sebelum Elsy membicarakan yang tidak-tidak lagi tentangnya.
“Kamu susah falling in love apa belum nemu belahan jiwa yang pas, sih? Dari awal MOS SMP sampe sekarang kelas 3 SMA, enggak pernah sedikit pun seorang Deena cerita soal cowok ke aku. Nih yaa, gue sebagai sahabat cuma khawatir aja sama Ukhti cantik ini.”
Dee memutar bola matanya malas, ia tidak minat membicarakan pria yang belum tentu memilikinya, apalagi sekarang Elsy selalu membicarakan Narendra yang sangat tidak penting untuknya, jiwa ambisi Deena sekarang lebih tinggi daripada perasaan yang bahkan tak jelas bagaimana adanya.
“Baik, sesuai jadwal kita dari minggu lalu, pertemuan kali ini ibu akan membagi kelompok untuk tugas presentasi mengenai bab ini, ya.” Bu Fara langsung memulai kelas setelah selesai memanggil nama setiap murid untuk presensi. “Dengar! Untuk kelompok satu, diisi oleh Dee sebagai ketuanya. Narendra, Yora, Hezya, dan Novan sebagai anggota. Berikutnya kelompok dua ….” Bu Fara menyebut satu persatu muridnya yang sudah ia pisahkan menjadi 6 kelompok. Dengan wajah datarnya, sang guru memberi satu persatu kertas bertuliskan tema yang berbeda kepada setiap ketua kelompok. Selebihnya ia jelaskan kelanjutannya via grup whatsapp.
“Segera kerjakan, deadline dua minggu dari sekarang, awal bulan depan harus sudah tampil di depan kelas, tidak ada kata tapi!” ucapnya sukses membuat seisi kelas merasakan atmosfer dingin dari Bu Fara. Setelah itu, ia mendaratkan senyum singkat lantas keluar dari ruangan itu karena jam pelajaran telah berakhir.
“Ciyee, sekelompok sama akang Ganteng, ciye Deena ciyee …,” goda Elsy sesekali mencolek pipi mulus Deena.
“Ish, apa sih Els?!” Dan semakin ditimpali, Elsy makin menjadi. Semakin kentara pula blushing di pipi Deena. Terus-terusan dicomblangi oleh sahabat resek-nya itu, membuat hatinya semakin … terbuka. Ia pun tak mengerti apa mau hatinya.
Kali ini seperti perintah Bu Fara, Deena dan anggota kelompoknya, termasuk Narendra sudah terhubung melalu grup whatsapp. Entah mengapa, setiap berbicara – meski hanya lewat ketikan – jantung Dee berdetak tak karuan ketika lawan bicaranya adalah Narendra, meski sudah menetralkan diri semaksimal mungkin. Ditambah lagi, anggota yang lain sangat sulit dihubungi untuk diskusi, jadilah mereka berdua membahas tugas rumit itu. Deena terpaksa, karena tugas kali ini panjang, belum lagi tugas dari mata pelajaran lain. Ia harus tambah ngebut lagi.
“Sengaja banget tuh kayaknya si Yora, Hezya, sama Novan cuma mau tumpang nama!” gerutu Dee sembari mencebikkan bibir ranumnya.
“Sabar, di kelompokku juga yang aktif cuma bertiga. Aku, Erina, sama si Bambang,” jelas Elsy tersenyum.
“Lumayan bertiga. Aku malah cuma berdua saja, sama si Koclak itu pula!” Deena mencebik kesal. Tawa Elsy pecah tatkala tahu bahwa yang disebut ‘koclak’ oleh Deena adalah Narendra.
“Ciyee, mulai naksir ya?” Lagi-lagi Elsy menggodanya. Selalu begitu ketika Narendra ataupun si Koclak dibawa-bawa.
“Ngapain naksir cowok mulut lemes isinya kebun binatang semua? Udah gitu kalo ujian, dia ngocok penghapus. Padahal otaknya lumayan. Gak banget,” tukas Dee memalingkan wajahnya. Entah di lubuk sana, ia malah mengabaikan semua kekurangan yang ada pada
Narendra. Berkali-kali ia sebut bahkan ia ketahui pasti, tapi hatinya itu tetap mengatakan seolah ‘biar saja, aku tak peduli’
“Dia ada baiknya juga. Kemarin waktu ada razia ponsel dadakan, kamu bingung terus Narendra bantu. Ponselmu jadi aman,” timpal Elsy menaik-turunkan alisnya.
“Hm, iya. Untuk itu sih, tapi … ya tetep saja Elsy! Sudah ah,” kilah Deena kesal.
“Narendra itu, kemarin pas kalian selesai presentasi, dia bilang apa coba?”
“Cepat, seorang Deena tidak punya banyak waktu!”
“Katanya, kamu perempuan langka. Di antara banyak perempuan, kamu paling unik dan gak mudah didekati. Dia suka! Dan aku setuju, kalian unik.”
“Jangan mengada-ngada,” kilah Deena tak percaya. Tapi hatinya sudah minta melompatlompat saja.
***
“Aku memang tidak sebaik itu, dulu di usia muda yang masih ikut-ikut teman, seperti katamu. Ketika Elsy cerita semuanya, aku hanya tertawa saja sembari merenung untuk memperbaikinya. Aku … ramah ke setiap perempuan? Mungkin perasaanmu saja, Sayang. Aku tak merasa seperti itu,” terang Narendra mengusap lembut puncak kepala sang istri.
“Yakin, setelah jadi istrimu, aku tetap unik?” Deena memastikan hal yang dulu ia ketahui dari Elsy kepada suaminya. Ingatan masa mudanya, tentang putih kelabu itu tiba-tiba tercetus di kepalanya.
“Oh tentu tidak … tidak salah lagi,” jawab Narendra sambil menatap wanita yang sudah 17 tahun menjadi istrinya. Yang ditatap hanya tersenyum malu.
“Gak nyangka ya, dulu malah aku kayak aneh aja kalau harus sama kamu, tapi selengket ini sekarang. Benar-benar koclak.”
“Guratan jodoh gak akan pernah melenceng dari orbitnya. Mau sejauh apa pun perbedaan kita dulu, entah aku yang memperbaiki diri, atau kamu yang lantas memantaskan diri. Kurasa, kita ditakdirkan. Sebab kita sama-sama digerakkan untuk bersatu.” Deena menyandarkan kepalanya di dada bidang milik Narendra kala mendengar semua tuturnya.
“Dari lautan manusia yang enggak ke hitung jumlahnya, Allah mempertemukanku dengan perempuan yang bukan hanya sekadar cantik. Aku masih ingat bagaimana dengan tangguhnya kamu membaca materi presentasi, walau aku lihat jelas tanganmu gemetar. Dan ketika kamu menolak bersentuhan dengan lawan jenis meski teman seusiamu santai-santai saja bersentuhan. Salut! Tapi, kamu tahu? Ada hal yang lebih istimewa dari itu.”
“Jangan buat aku penasaran!” rengek Deena memukul pelan bahu Narendra.
“Masa-masa putih kelabu yang bukan sekadar jadi perantara bertemunya kita. Tapi juga memberi ruang untuk cinta dan kasih sayang itu tumbuh di antara kita, dan jatuh pada tempat semestinya. Maha baik Tuhan kita, Allah mengizinkanku untuk mengarungi bahtera asmara bersamamu sebelum bumi memeluk salah satu di antara kita,” ucapnya parau. Iris mata elangnya mengembun, ia memeluk erat sang istri.
“Jatuh pada tempat semestinya?” Deena mengernyitkan dahinya tak mengerti.
“Menikah, Istriku. Bukan pacaran tentunya,” jawab Naren mengecup singkat pucuk sang istri.
“Pendidikan bisa jadi halaqah cinta juga ya, ternyata? Elsy, Bu Fara yang malah jadi perantaranya. Kerja kelompok ….” Deena terkekeh, lagi-lagi ia mengingat masa bertabur bunga itu.
“Halaqah putih kelabu, dengan bumbu kenangan yang mengantarkanmu padaku setelah dipisahkan perguruan tinggi dan perbaikan diri.” Memang, terkadang momen yang singkat menciptakan kenangan membekas dengan pekat. Lalu menciptakan pertemuan kedua hingga disatukan dengan seizin-Nya
Karya: Kinanti Mugni Shara
Kelas: X 2
Congratulations syng, semngat trs!!! ❤❤❤
Mantul cerpennya, dengan plot mundur/regresif. Semoga de dan narendara dlmkisah dumay juga samawa yah
Ayo unjuk gigi juga Kinanti, kamunjuga juara 1 Nasional 2021
Good alurnya menarik